Site icon SIN Gorontalo

BPPT Dukung Kebijakan Terkait Strategi Inovasi Teknologi untuk Indonesia Lebih Tangguh dan Tanggap Bencana

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendorong kebijakan dan strategi inovasi teknologi untuk membuat Indonesia tangguh dan tanggap bencana. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa pada tahun 2020 telah terjadi 4.650 kejadian bencana alam yang didominasi oleh bencana alam hidrometeorologi.

“Kami tidak pernah lelah untuk berinovasi dan mengawal penerapan teknologi kebencanaan di tanah air, salah satunya dengan menggiatkan ekosistem inovasi di bidang ini bersama dengan stakeholders lainnya,” kata Kepala BPPT Hammam Riza dalam webinar bertema Kebijakan & Strategi Riset, dan Inovasi Teknologi Kebencanaan, Kamis (19/8/2021).

Menurut Hamma, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi risiko tinggi terhadap bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi.

Untuk mengurangi kerentanan dan potensi risiko ini, Indonesia perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas melalui program penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) teknologi pada bidang kebencanaan.

BPPT sebagai penyelenggara ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di Indonesia turut terlibat aktif dalam pengembangan teknologi kebencanaan di tanah air.

Peranan tersebut diwujudkan dalam penerapan sistem deteksi dini terpadu tsunami (InaTEWS), teknologi modifikasi cuaca, hingga yang terbaru ini yaitu penerapan kecerdasan artifisial (KA) / artificial intelligence dalam upaya penanggulangan tsunami serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Peningkatan frekuensi bencana di Indonesia mengakibatkan kerugian berupa perlambatan ekonomi, sedangkan pemerintah di masa pandemi ini memiliki program besar untuk melakukan pemulihan ekonomi di semua sektor. Oleh karenanya kita bersama harus berusaha untuk memprediksi bencana bahkan meminimalisasi dampaknya,” tambah Hammam.

Menurut catatan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana rata-rata mencapai Rp 22,8 triliun tiap tahun. Hammam menilai kerugian tersebut dapat diminimalisir, karena bencana yang terjadi kerap berulang tiap tahunnya dalam suatu periode tertentu.

Hammam menambahkan bencana dapat diantisipasi dengan kajian mendalam untuk bencana jenis tertentu dan di wilayah yang spesifik. Hasil kajian tersebut pun nantinya akan dibuat pemodelan yang selanjutnya diolah menggunakan bantuan teknologi KA. Proses tersebut pun telah BPPT mulai dalam program PEKA Tsunami, dan PEKA Karhutla.

Lebih lanjut, Hammam mengungkapkan paradigma penanggulangan bencana telah mengalami perubahan secara global. Beberapa pendekatan baru dalam kebencanaan telah menjadi perhatian dunia meliputi isu sustainable development goals (SDGs), global platform for disaster risk reduction (DRR), climate change, zero emission, dan save ocean.

Perubahan paradigma tersebut pun memberikan tantangan baru bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam agenda pengurangan risiko bencana baik secara nasional maupun global, terlebih pada tahun 2020 negara kita akan menjadi tuan rumah pertemuan Global Platform for DRR di Bali.

“Kita harus bersiap dan mampu menunjukkan kepada masyarakat global bahwa Indonesia merupakan negara tangguh dan tanggap bencana. Ekosistem inovasi teknologi kebencanaan sudah harus mulai mengubah mindset dan aware akan isu penting mengenai pengembangan teknologi sistem peringatan dini multiancaman berbasis komunitas, peramalan berbasis dampak (impact-based forecasting), peringatan berbasis risiko (risk-based warning), dan sistem peringatan multi ancaman (global multi-hazard alert system),” tambahnya.

Isu tersebut pun tidak lepas dari perhatian kegiatan pengkajian dan penerapan teknologi kebencanaan di BPPT. Melalui unit kerja Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), BPPT memiliki inovasi teknologi kebencanaan yang siap diterapkan oleh para mitra, di antaranya:

1. Sistem Peringatan Dini Bencana Tsunami (Indonesia Tsunami Early Warning System/Ina TEWS);
2. Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir (Flood Early Warning System/FEWS);
3. Sistem Peringatan Dini Bencana Longsor (Landslide Early Warning System/LEWS);
4. Sistem Kaji Kerentanan Struktur Gedung Bertingkat (Sijagat);
5. Sistem Informasi Kesehatan Struktur Gedung Bertingkat (Sikuat); Rumah Komposit Tahan Gempa;
6. Sistem Simulasi Perubahan Guna Lahan (Simulan) untuk Aplikasi Bencana Tsunami;
7. Sistem Deteksi Dini Kebakaran Lahan dan Hutan;
8. Penanganan Kebencanaan Menggunakan Kecerdasan Artifisial (PEKA) Sistem Prediksi Kejadian Tsunami;
9. Kecerdasan Artifisial Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla);
10. Indonesia Network for Disaster Information (INDI);
11. Kajian Bencana Gagal Teknologi Sektor Industri;
12. Perlindungan Tanah dan Erosi Tanah (Biotextile);

Hammam menjelaskan tantangan besar Indonesia di bidang kebencanaan terletak pada bagaimana cara mendorong keterlibatan dan penerimaan hasil riset dan inovasi teknologi kebencanaan Indonesia dalam agenda prioritas nasional dan global untuk pengurangan risiko multi ancaman bencana.

Pada Kamis (19/8/2021), webinar dengan tema Kebijakan & Strategi Riset, dan Inovasi Teknologi Kebencanaan ini turut menghadirkan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati, serta Deputi Bidang Meteorologi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG Guswanto. (*/cr2)

Sumber: banten.siberindo.co

Exit mobile version