Sin.co.id-Penjabat Gubernur Ismail Pakaya, berhasil menengahi persoalan harga pembelian tebu antara PT. Pabrik Gula Gorontalo dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat. Kedua belah pihak menyepakati pembelian tebu menggunakan sistem bagi hasil.
“Untuk musim tebang tahun ini perusahaan membeli tebu petani dengan sistem bagi hasil. Formulanya menggunakan rendemen pabrik yang dihitung pada akhir penggilingan dan Harga Pokok Penjualan (HPP) gula pasir yang sudah ditetapkan tahun ini sebesar Rp12.500/kilogram,” kata Penjagub Ismail saat memimpin rapat fasilitas di aula rumah jabatan Gubernur Gorontalo, Senin (5/6/2023).
Ismail mengungkapkan, sistem bagi hasil tersebut memiliki risiko bagi kedua belah pihak. Jika pada akhir masa penggilingan rendemen pabrik dihitung lebih dari tujuh persen, maka perusahaan berkewajiban membayar kekurangan harga tebu petani. Sebaliknya, jika rendemen di bawah tujuh persen, maka petani yang wajib mengembalikan kelebihan harga.
“Ini butuh komitmen kedua belah pihak. Nanti Kadis Pertanian Provinsi serta Kabupaten Gorontalo dan Boalemo akan memfasilitasi perjanjian antara perusahaan dan petani,” imbuhnya.
Penjagub menambahkan, sistem bagi hasil ini hanya berlaku untuk musim tebang tahun ini. Pada musim berikutnya, pihak perusahaan dan petani bersepakat untuk menggunakan sistem pembelian dengan memperhitungkan rendemen tebu hasil panen masing-masing petani.
Sebelumnya para petani tidak menyetujui sistem yang diterapkan perusahaan untuk membeli tebu dengan harga Rp500 ribu/ton tanpa memperhitungkan rendemen. Para petani menuntut perusahaan membeli tebu dengan HPP yang berlaku secara nasional sebesar Rp650 ribu/ton sesuai edaran Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian.
“Saya menyarankan untuk tahun depan HPP dihitung secara regional atau provinsi. Di satu sisi kita ingin meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi di sisi lain kita juga mau industri gula di Gorontalo terus berkembang,” tutup Ismail. (rls)